Kamis, 14 Juni 2018

Penggugah Makna Pancasila "Lima"



Film Lima, dok google

Tak bisa saya bayangkan bagaimana jika saya ada di posisi Fara (Prisia Nasution) yang harus menjelaskan dengan benar tata cara pemakaman islam kepada adik kandung yang berbeda agama. Atau justru menahan pedihnya gunjingan tetangga yang mungkin tak bisa menerima perihal perbedaan agama dalam keluarga. Toh bukannya kebebasan beragama tertuang pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Lima adalah sebuah film keluarga yang berkisah tentang perjuangan pada nilai-nilai luhur pancasila dalam konflik kehidupan sehari-hari yang sering terjadi dalam masyarakat yang beragam. Dimulai dari perbedaan agama sampai etnis serta status. Dimana dalam satu keluarga yang meyakini agamanya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing sampai mereka dihadapkan pada persoalan ketidakadilan dalam etnis suku bangsa dan status kependudukan. Lima yang diproduksi oleh lima sutradara yaitu Lola Amaria, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, Adriyanto Dewo dan Shalahudin Siregar berhasil mengemas tiga konflik yang biasa terjadi pada era zaman Indonesia sekarang. Dimana masyarakat masih membedakan soal agama, budaya bahkan status antara si kaya dan si miskin.

Namun kuatnya nilai-nilai luhur Pancasila yang dibawakan oleh Fara, misalnya saat mempersilahkan sang adik Aryo (Yoga Pratama) untuk mengantarkan jenazah sang Ibu untuk terakhir kali ke liang lahat berhasil memecah renungan betapa kita perlu meneladani hal-hal tersebut agar tak menjadi sesuatu yang dianggap rumit.

“Biarlah dosa kami yang menanggung asalkan kami tenang membawa Ibu ke tempat terakhirnya” sahut Fara saat meminta izin kepada Ustad agar Aryo, sang adik yang beragama nasrani bisa ikut serta menguburkan jenazah ibundanya.

Selain itu mempersilahkan para saudara mengiringi doa pujian setelah lantunan ayat suci Al-Quran sungguh membuat bulu kuduk saya merinding. Bukankah Tuhan tahu apa yang hambaNya perbuat? Sungguh film Lima dapat menjadi bukti bagi yang meragukan Pancasila selama ini, bahwa Pancasila kita bisa dipersatuan dalam nama Indonesia. Sebagian orang seringkali berpikir bahwa nilai-nilai Pancasila sudah usang sehingga ada beberapa orang yang terjebak dalam situasi konflik dalam kehidupan keBhinekaan. Orang – orang seperti itu bukan untuk dibenci atau ditinggalkan tetapi dirangkul dengan nilai-nilai kasih sayang, empati, kerjasama, saling berbagi, seperti yang ada di dalam film Lima ini karena itulah esensi Pancasila.

Seperti halnya saat Fara mendapatkan kebimbangan dikala harus memilih anak didiknya untuk mewakili ajang renang internasional dimana sang kepala klub renang berpesan harus “pribumi”lah yang maju. Hingga pada akhirnya Fara dapat mempertahankan jati dirinya mewakili jati diri bangsa untuk tetap memperjuangkan sang calon pahlawan atas prestasi bukan “pribumi” yang dimaksud. Tentunya membawa contoh sang anak didik renangnya untuk tetap sportif hingga menerima keputusan dalam keikutsertaan ajang olahraga renang tingkat internasional tersebut.
cover film Lima, dok googleImage
Hingga pada ketidakadilan status si miskin dan di kaya pada keadilan hukum yang turut mengajak Fara, Aryo dan Adi untuk membantu keluarga dari Bi Ijah, sang asisten rumah tangga yang anaknya terlibat kasus pencurian tanaman hutan bagi anak dibawah umur. Sungguh membuat greget dan terenyuh dimana Pancasila kita memang butuh diluruskan dalam perbedaannya. Berbeda bukan untuk memaksa tapi karena berbeda maka kita menjadi Indonesia dalam panji yang sama, Pancasila.
Film ini sungguh menarik untuk ditonton dan dapat menggugah makna Kebhinekaan Tunggal Ika bagi kita semua. Segera kunjungi bioskop kesayangan anda di kota anda karena akan ada makna Pancasila yang menjadikan jiwa anda untuk memahaminya. Seperti saya yang memaknai sebagaimana rumusannya menjadikan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyatnya. Serta menjalankan kehidupan sesuai dengan keyakinan dan falsafah negara yang adil dan makmur tentu tidak memaksa dan sesuai dengan aturan negara yang berlaku.